REKONSTRUKSI TEORI KEMASLAHATAN
DALAM WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Telaah Kritis Pemikiran Najm Din Thufi
Oleh : DR. EFRINALDI, M.Ag.
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini masyarakat tengah mengalami perubahan sosial yang sangat cepat. Suatu perubahan masyarakat yang ber-mega trend, ber-mega mesin, atau yang disebut oleh para ahli sebagai perubahan kinetik (kinetic image). Hubungan interaksi sosial sudah semakin kompleks. Hubungan itu cenderung berbentuk pola gabungan info, otak, dan mesin. Hubungan yang kian kompleks itu merupakan refleksi dari dinamika perubahan sosial (social change), sains dan teknologi.
Selaras dengan hal itu, permasalahan kehidupan manusia semakin cepat berkembang dan makin kompleks. Permasalahan itu makin dihadapi umat Islam dan menuntut adanya jawaban penyelesaian (way out) dari segi hukum. Semua persoalan tersebut tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode konvensional yang digunakan para fuqaha’ terdahulu.
Padahal tujuan syara’ secara substansial ialah terciptanya kemaslahatan umum (public interest) dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan umum itu bersifat dinamis dan fleksibel yang seiring dengan lajunya perkembangan zaman. Nilai-nilai dan tujuan syara’ dengan pertimbangan kemaslahatan umum menjadi solusi alternatif terhadap kompleksitas permasalahan kehidupan manusia.
Kemaslahatan umum dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati oleh para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam menentukan kriteria kemaslahatan umum tersebut. Di antara gagasan yang mengemuka dan cukup kontroversial dalam teori kemaslahatan dalam visi pembaruan hukum Islam ini dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi.
Najm al-Din al-Thufi adalah seorang ilmuwan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh yang berkebangsaan Irak. Dengan segenap ilmu yang dikuasainya, ia berupaya mengembangkan pemikiran secara liberal dan mengajak para ulama di zamannya untuk komitmen pada al-Qur’an dan Sunnah secara radikal dalam mencari kebenaran. Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi tidak terikat dengan suatu aliran pemikiran atau mazhab manapun. Metode kebebasan berpikir yang dicanangkan al-Thufi menyebabkan ia berbeda dengan para ulama semasanya. Pemikirannya yang mengundang polemik adalah teori kemaslahatan sebagai fokus kajian dalam tulisan ini.
B. HUKUM ISLAM DAN TEORI KEMASLAHATAN
Kajian terhadap hukum Islam, term ini sebenarnya secara tegas, tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Dalam berbagai literatur, term yang biasanya muncul adalah syari’at Islam, fiqh atau hukum syar’i.
Para ahli ushul fiqh secara mayoritas mengemukakan definisi hukum syar’i itu sebagai “Tuntutan (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), berupa kehendak (tuntutan), pilihan, atau hubungan antara sesuatu dengan yang lain (al-wadh’i); baik sebagai sebab, syarat, penghalang (mani’), sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Secara leksikal, term syari’ah berarti “jalan ke sumber mata air” dan “tempat orang-orang pada minum”. Kalimat ini digunakan secara khas dalam bahasa Arab dengan pengertian “jalan setapak menuju sumber mata air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mengacu pada pengertian secara lughawy tersebut, syari’ah berarti suatu jalan yang harus dilalui.
Dalam pengertian terminologis, syari’ah dimaksudkan sebagai ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia, dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syara’ itu terbatas dalam firman Allah dan sabda Rasul.
Term fiqh berarti al-fahm (paham yang mendalam). Dalam konteks ini, fiqh berarti interpretasi para fuqaha’ terhadap syari’at. Secara khas, fiqh dimaksudkan “mengkaji hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah (practical) yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.”
Hukum Islam, dalam pandangan para ahli di barat seperti Noel J. Coulson, JND Anderson, Joseph Schacht, mencuat dengan term Islamic law. Berbagai studi tentang dinamisasi dan implementasi hukum Islam dalam dimensi sejarah (Islamic law history), terlihat bahwa term yang dimaksud lebih mangacu kepada fiqh yang telah dikembangkan oleh para fuqaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Tetapi penjelasan terhadap Islamic law sendiri, defenisi yang sering mencuat adalah “keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Atas dasar itu, term Islamic law memuat arti antara syari’ah dan fiqh.
Istilah hukum dalam hukum Islam itu sendiri secara umum dapat berdiri sendiri. Secara sederhana, hukum diartikan sebagai “seperangkat peraturan tentang tindak-tanduk, atau tingkah laku, yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya”. Jika term hukum itu dihubungkan dengan Islam atau syara’, maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Dengan demikian, term hukum Islam mencakup pengertian hukum syara’ dan hukum fiqh, karena arti syara’ dan fiqh itu tercakup di dalamnya.
Hukum Islam bersifat elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif dengan dinamika perubahan sosial dan kemajuan zaman. Sifat multidimensional dalam ruang lingkup hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.
Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’.” Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, harus seiring dengan tujuan syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.
Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus sesuai dengan tujuan syara’.
Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli mengklasifikasikan teori al-mashlahah kepada tiga jenis. Pertama, mashlahah dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berkaitan dengan lima kebutuhan pokok, yang disebut dengan al-mashalih al-khamsah, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta.
Segala sesutu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas adalah bertentangan dengan tujuan syara’. Karena itu, tindakan tersebut dilarang tegas dalam agama. Allah melarang murtad demi untuk memelihara agama; membunuh dilarang untuk memelihara jiwa, minum-minuman keras dilarang untuk memelihara akal sehat, berzina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan mencuri atau merampok dilarang untuk memelihara kepemilikan terhadap harta.
Kedua, mashlahah hajiyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyari’atkan untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.
Ketiga, mashlahah tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Umpamanya, dianjurkan memakan yang bergizi, berpakaian yang rapi, melaksanakan ibadah-ibadah sunat, dan lain sebagainya.
Ditinjau dari dimensi cakupan kemaslahatan, para ahli mengklasifikasikan teori ini kepada dua hal. Pertama, mashlahah ‘ammah, yaitu kemaslahatan umum yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak atau mayoritas umat. Misalnya, ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah dan dhalalah karena dapat merusak aqidah mayoritas umat.
Kedua, mashlahah khasshah, yaitu kemaslahatan khusus yang berhubungan dengan kemalahatan individual. Misalnya, kemaslahatan yang berkenaan dengan pemutusan hubungan status perkawinan terhadap seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
Urgensi dari pengklasifikasian kedua jenis kemaslahatan ini berkaitan dengan skala prioritas manakala antara teori kemaslahatan umum dengan kemaslahatan individual terjadi perbenturan. Dalam konteks ini, mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam aspek keberadaan mashlahah dalam perspektif syara’ dan adanya keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara’, teori ini diklasifikasikan kepada tiga hal. Pertama, mashlahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang berada dalam kalkulasi syara’. Dalam hal ini ada dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan itu, baik secara langsung ada indikator dalam syara’ (munasib mu’atstsir) ataupun secara tidak langsung ada indikatornya (munasib mulaim).
Misalnya, salah satu bentuk hukuman bagi pencuri adalah keharusan mengembalikan barang curian kepada pemiliknya, apabila masih utuh atau mengganti dengan sesuatu yang sama nilainya. Hukuman ini dianalogikan kepada ketentuan hukuman ghashab (orang yang mengambil harta orang lain tanpa izin) sebagai suatu keharusan mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya.
Kedua, mashlahah mulghah, yaitu bentuk kemaslahatan yang ditolak, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Meskipun sesuatu itu secara rasio dianggap baik, tetapi syara’ menetapkan hukum yang berbeda karena muatan maslahat itu. Misalnya, dewasa ini dengan alasan gender dan emansipasi wanita, secara rasional dapat diterima kedudukan yang sama antara hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Tetapi berdasarkan ketentuan syara’, hak waris anak laki-laki tetap dua kali lipat hak anak perempuan.
Ketiga, mashlahah mursalah, atau dalam beberapa literartur disebut juga dengan al-istishlah, mashlahah muthlaqah, atau munasib mursal. Yaitu kemaslahatan yang eksistensinya tidak didukung syara’ dan esensinya tidak pula ditolak melalui dalil yang terperinci, tetapi cakupan makna nash terkandung dalam substansinya. Dalam hal ini, sesuatu itu dalam anggapan baik secara rasio dengan pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Sesuatu yang baik menurut rasio akan selaras dengan tujuan syara’ dalam penetapan hukum, yang secara khusus tidak ada indikator dari syara’ untuk menolak ataupun mengakui keberadaannya.
Mashahah mursalah dalam kedudukan sebagai metode ijtihad secara jelas digunakan oleh Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki. Selain itu, mashlahah mursalah juga digunakan kalangan ulama non-Maliki sebagaimana dinukilkan oleh al-Syathibi.
Dalam perspektif pemikiran Najm al-Din al-Thufi, klasifikasi teori mashlahah seperti di atas adalah sesuatu yang tidak urgen. Rumusan teori yang dikemukakan oleh Jumhur ulama tersebut tidak dapat diterima oleh al-Thufi. Kekhasan corak pemikirannya, terlihat bahwa asumsi mashlahah ditempatkan sebagai dalil yang bersifat mandiri dan dominan dalam penetapan hukum, baik secara substansial kemaslahatan itu sendiri didukung oleh syara’ ataupun tidak.
C. KONDISI SOSIOHISTORIS DAN DINAMIKA
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL NAJM DIN THUFI
Najm al-Din al-Thufi (675 H/ 1276 M – 716 H/ 1316 M) dilahirkan di desa Thufi, Sharshar, Irak. Nama lengkapnya adalah Najm al-Din Abu al-Rabi’ Sulaiman Ibn Abd al-Qawi Ibn Abd al-Karim Ibn Sa’id al-Thufi al-Sharshari al-Baghdadi al-Hanbali. Ia adalah seorang ilmuwan yang terkenal dalam bidang fiqh dan ushul fiqh yang pada dasarnya menganut mazhab Hanbali. Dalam pengembangan potensi intelektualitas al-Thufi mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan, selain fiqh dan ushul fiqh ialah tafsir, hadits, ilmu kalam, ilmu mantiq, bahasa Arab dan sejarah. Kitab fiqh rujukan mazhab Hanbali, al-Muharrar fi al-Fiqh al-Hanbali dikuasaiya dalam usia yang relatif muda. Demikian juga dengan kitab Mukhtashar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-Husain Ibn Abdullah Ibn Ahmad al-Khiraqi dalam bidang fiqh juga sangat digandrunginya. Studi fiqh makin didalami al-Thufi pada Syekh Zain al-Din Ali Ibn Muhammad al-Sharshari atau yang lebih dikenal di kalangan mazhab Hanbali sebagai Ibn al-Bauqi. Kebanyakan guru-guru al-Thufi adalah ulama-ulama Hanbali yang besar pada zamannya.
Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi juga menggali literatur-literatur Syi’ah yang ketika itu dinilai sangat tabu dan kontroversial dalam masyarakat yang mayoritas Sunni. Meskipun al-Thufi berada dalam komunitas mazhab Hanbali dan menekuni studi tentang Syi’ah, namun tradisi kebebasan berpikir dalam pengembaraan intelektualnya tetap terus melaju.
Dengan sekelumit ilmu yang dipelajarinya, al-Thufi berupaya mengajak para ulama ketika itu untuk tetap komitmen pada al-Qur’an dan Sunnah dalam mencari kebenaran secara radikal. Seruan al-Thufi ini mencuat dalam karyanya, al-Akbar fi Qawaid al-Tafsir, kitab tentang kaidah-kaidah tafsir. Dalam mengembangkan dan memelihara tradisi kebebasan berpikir, al-Thufi tidak terikat dengan suatu pendapat, aliran pemikiran atau mazhab manapun.
Sosok al-Thufi memang pribadi yang berbeda pada zamannya. Secara situasional ketika itu, malahan terjadi kristalisasi mazhab-mazhab. Stagnasi pemikiran mulai melanda masyarakat dan dunia Islam. Hak dan kebebasan berijtihad dibatasi dan bahkan pintu ijtihad mulai dinyatakan tertutup. Kejumudan pemikiran tengah merajalela. Mulai pertengahan abad ke-9 M, muncul pendapat bahwa hanya ulama masa lampau yang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Pendapat ini makin mendapat tempat dengan didukung oleh sejumlah opini bahwa seluruh permasalahan secara esensial telah dibahas tuntas. Terlihat adanya semacam konsensus secara gradual bahwa tidak seorang pun memiliki otoritas untuk melaksanakan ijtihad secara mutlak dan bahwa aktifitas di masa mendatang harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi, dan penafsiran dari doktrin yang telah diformulasikan. Penutupan pintu ijitihad itu menggiring pada munculnya kondisi taqlid buta, suatu term yang secara umum diartikan sebagai penerimaaan secara pasrah terhadap doktrin-doktrin dan otoritas-otoritas mazhab yang telah mapan.
Puncak dari iklim ini adalah runtuhnya Bagdad sebagai mercu suar dan pusat perkembangan aktifitas intelektual Islam. Pencaplokan yang dilakukan Hulagu Khan terjadi pada 1258 M. Invasi yang dilakukan Kaisar Tartar ini mengakibatkan jatuhnya kekuatan politik Islam yang kian parah. Integritas politik dunia Islam betul-betul menjadi berantakan. Didasarkan atas kekhawatiran yang lebih besar terhadap munculnya perpecahan dan perselisihan dalam masyarakat Islam, para fuqaha’ Sunni menyerukan pada keseragaman kehidupan sosial umat Islam dengan mencegah adanya pembaruan substantif dalam hukum Islam.
Perkembangan hukum Islam makin tidak dinamis dan terisolasi dari berbagai persoalan kehidupan baru. Berbagai masalah makin bermunculan, sementara solusi terhadap masalah-masalah yang cukup pelik itu tidak mencuat. Persoalan-persoalan hukum dicukupkan pada hasil-hasil ijtihad masa lalu. Hukum Islam secara praksis tidak dapat merespon kasus-kasus baru dalam kehidupan manusia.
Masa itu merupakan fase kemunduran hukum Islam yang cukup menyejarah. Kondisi ini berlangsung cukup lama, yaitu dari pertengahan abad IV H sampai akhir abad XIII H. Memang pada fase ini para ulama tidak cukup berani berinisiatif untuk mecapai tingkatan mujtahid mutlak, menggali hukum-hukum Islam dari sumbernya secara langsung, atau mencari ketentuan hukum baru terhadap suatu persoalan. Kondisi ini makin merajalela dan memicu bagi munculnya iklim taqlid.
Dalam kondisi stagnan ini, Najm al-Din al-Thufi muncul dengan gagasan-gagasannya yang berbeda dengan para pemikir di zamannya. Pemikiran al-Thufi tertuang dalam segenap karyanya, antara lain dalam bidang ushul fiqh, seperti kitab Mukhtashar al-Raudah al-Qudamiyah, Mukhtashar al-Hashil, al-Zari’ah ila Ma’rifah Asrar al-Syari’ah. Dalam bidang ilmu fiqh, ia menulis kitab al-Qawaid al-Kubra, al-Qawaid al-Shughra, , Al-Riyad al-Nawazir fi al-Asybah wa al-Nadzair, Syarh Nishf Mukhtashar al-Khiraqi dan lain sebagainya. Di antara gagasan al-Thufi yang berbeda dengan mayoritas ilmuwan ketika itu dan cukup mengundang polemik ialah tentang al-mashlahah.
D. TEORI KEMASLAHATAN DALAM KONSTRUKSI
PEMIKIRAN NAJM DIN THUFI
Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi bercorak sangat khas. Pemikirannya jauh berbeda dengan arus umum mayoritas ulama yang hidup sezaman dengannya. Formulasi teori al-mashlahah dalam pemikiran al-Thufi bertitik tolak dari hadis “La dharara wa la dhirar fi al-Islam” (Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh pula dimudaratkan orang lain dalam Islam).
Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi, intisari dari keseluruhan ajaran Islam yang termuat dalam nash ialah kemaslahatan bagi manusia secara universal. Atas dasar itu, versi al-Thufi, seluruh ragam dan bentuk kemaslahatan disyari’atkan dan keberadaan maslahat itu tidak perlu mendapatkan konfirmasi dari nash. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum.
Secara terminologis, al-Thufi merumuskan al-mashlahah sebagai “suatu ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat kebiasaan”. Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’ dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.
Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah membawa nuansa lain terhadap pendapat mayoritas ulama semasanya. Dalam persepsi umum para ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’, baik melalui nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Pemikiran al-Thufi yang tidak sejalan dengan para ulama semasanya menyebabkan ia terisolasi, tetapi substansi pemikirannya kemudian mendapat perhatian para ahli sesudahnya.
Dalam teori Najm al-Din al-Thufi, al-mashlahah tidak diklasifikasikan kepada berbagai ragam bentuk, sebagaimana yang diformulasikan oleh kalangan Jumhur ulama. Menurut al-Thufi, al-mashlahah merupakan hujjah yang mandiri dan paling dominan sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini, kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi dari nash, apakah ada nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah nash, ataupun nash menolak keberadaannya sama sekali.
Teori kemaslahatan dalam rumusan al-Thufi memuat empat prinsip. Dalam hal ini pemikirannya terlihat sangat berbeda dengan mayoritas ulama. Keempat prinsip itu adalah :
- Akal dapat secara bebas menentukan kemaslahatan dan kemudaratan, khususnya dalam bidang mu’amalah dan adat. Untuk menilai dan menentukan sesuatu itu maslahat atau mudarat cukup dengan akal (rasio). Kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk tanpa harus melalui wahyu menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikiran al-Thufi. Di sinilah letak perbedaan yang cukup serius antara al-Thufi dengan Jumhur ulama. Menurut Jumhur, meskipun kemaslahatan itu dapat dicapai dengan akal, namun harus mendapatkan konfirmasi dari nash atau ijma’.
- Al-mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi paling kuat dalam penetapan hukum. Atas dasar ini, kehujjahan al-mashlahah tidak diperlukan adanya dalil pendukung. Kemaslahatan cukup didasarkan kepada kekuatan penilaian rasio tanpa perlu melalui wahyu.
- Al-mashlahah hanya berlaku dalam masalah mu’amalah dan adat kebiasaan. Sedangkan dalam masalah ibadah , seperti shalat maghrib tiga rakaat, puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan, dan tawaf dilakukan sebanyak tujuh kali, tidak termasuk kategori objek mashlahah. Masalah-masalah ini merupakan hak dan otoritas Tuhan secara penuh.
- Al-mashlahah merupakan dalil syara’ yang paling dominan. Dalam konteks ini, versi al-Thufi, jika nash atau ijma’ bertentangan dengan al-mashlahah, maka kemaslahatan diprioritaskan dengan metode takhshish nash (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian).
E. TEORI KEMASLAHATAN NAJM DIN THUFI DALAM
KERANGKA PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Gagasan pembaruan pemikiran dalam hukum Islam tetap selalu mendapat perhatian berbagai kalangan. Banyak ahli yang concern dengan tema-tema ini. Gagasan ini kian urgen karena selaras dengan dinamika perubahan sosial dan mobilitas kemajuan zaman.
Teori kemaslahatan umum (public interest) sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam tetap menjadi sorotan yang secara gradual terus melaju. Para penulis kontemporer dalam bidang hukum Islam atau secara khusus bidang ushul fiqh turut menjadikan teori tentang kemaslahatan sebagai kerangka referensinya. Berbagai kasus dan masalah-masalah baru yang muncul ditinjau dari perspektif hukum Islam dengan menjadikan acuan utamanya adalah dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal.
Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi mengemuka secara substantif dalam kerangka kajian legislasi Islam. Kemaslahatan umum sebagai shariah based merupakan tujuan penetapan hukum Islam. Nash atau dalil-dalil syara’ lain merupakan metode untuk merealisasikan tujuan pencapaian kemaslahatan itu. Paradigma ini mengacu pada realitas perubahan sosial, jika pengamalan makna nash sesuai dengan zhahirnya secara probabilitas akan membawa kesenjangan dan kurang menampung rasa keadilan dan muatan kemaslahatan, maka dalam hal ini makna nash itu dipalingkan kepada makna lain yang lebih mengacu kepada rasa keadilan dan mengandung kemaslahatan umum.
Pemikiran al-Thufi juga menyiratkan adanya suatu upaya untuk memperoleh suatu hukum fiqh melalui perluasan makna suatu teks syari’ah yang bersifat eksplisit dengan mengungkap pengertian-pengertian implisitnya. Ini dilakukan dengan menggali causalegis (illat) suatu nash untuk diterapkan pada kasus-kasus serupa yang secara ekplisit tidak termasuk ke dalamnya. Atau juga dengan menggali semangat, tujuan dan prinsip umum, yang terkandung dalam suatu nash untuk diterapkan secara lebih luas dalam masalah lain yang diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan umum. Corak pemikiran al-Thufi dalam teori maslahat ini, dalam kerangka pembaruan pemikiran hukum Islam, terlihat dengan pendekatan transformatif.
Pendekatan transformatif mengemuka sebagai suatu pendekatan alternatif dari pendekatan realis-positivistik yang melihat perubahan (change) sebagai suatu sarana untuk menggapai cita kemaslahatan kualitatif dalam visi Ilahiyyah. Esensi kemaslahatan dalam syara’ bukan hanya berfungsi sekadar sistem legitimasi tetapi melainkan sebagai pemenuhan terhadap sesuatu yang mendasar mengenai makna dari apa yang tengah terjadi.
Dalam wacana pembaruan pemikiran dalam hukum Islam, teori kemaslahatan dalam pandangan al-Thufi mencakup lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan. Karena, memang bidang-bidang ini yang rentan terhadap berbagai dinamika perubahan. Sedangkan dalam lapangan ibadah adalah semata hak prerogatif Tuhan. Hakekat yang terkandung dalam ibadah , baik kualitas maupun kuantitas, waktu dan tempat, tidak mungkin diketahui kecuali hanya ditentukan dalam syara’. Kemashlahatan umum dalam hal ini tetap menjadi tujuan syara’.
F. KESIMPULAN
Kekhasan corak pemikiran Najm al-Din al-Thufi terlihat bahwa mashlahah ditempatkan sebagai dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam legislasi Islam, baik secara substansial kemaslahatan itu sendiri mendapat konfirmasi dari syara’ ataupun sebaliknya. Corak pemikiran al-Thufi dalam teori maslahat ini, terlihat dalam nuansa pembaruan pemikiran dalam hukum Islam.
Diskursus teori kemaslahatan umum (public interest) sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam tersebut selalu menjadi perhatian banyak kalangan yang secara gradual terus melaju. Berbagai kasus dan masalah-masalah baru yang muncul ditinjau dari perspektif hukum Islam menjadikan acuan utamanya adalah dasar kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal
Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi memang berbeda dengan arus umum mayoritas ulama. Menurut al-Thufi, al-mashlahah merupakan hujjah yang mandiri dan menempati posisi paling kuat sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini, kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi dari nash, apakah ada nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah nash, ataupun tidak ada pengakuan dari nash mengenai keberadaannya. Teori kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi ini mengemuka secara esensial dalam kerangka kajian legislasi Islam.
TEORI KEMASLAHATAN
DALAM WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Telaah Kritis Pemikiran Najm Din Thufi
Oleh :
DR.EFRINALDI, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang)
IAN IMAM BONJOL
PADANG
2008