ISLAM DAN NEGARA

ISLAM DAN NEGARA

Oleh: Dr. Efrinaldi, M.Ag.

(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN dan Peneliti pada

The Centre for Research and Development Studies (CRDS) Jakarta)

 

 

Belakangan ini hubungan agama dan negara dalam diskursus pemikiran sosial politik dan ketatanegaraan Indonesia merupakan perbincangan yang selalu berkembang. Spektrum Islam dan hubungannya dengan negara telah memberikan dinamika dalam wacana seputar bagaimana memposisikan Islam dalam konteks sosial politik atau dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Telaahan ini merefleksikan upaya mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara sebagai instrumen dalam perwujudan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia dalam babakan sejarahnya tampak bahwa hubungan Islam dengan ketatanegaraan dalam pencarian konsep mengenai negara makmur dan sejahtera yang dicita-citakan, tetapi menyisakan perbedaan pandangan apakah negara bercorak religiopolitik atau nasionalis sekuler.

Upaya untuk menelusuri bagaimanakah hubungan agama dan negara dalam suatu diskursus ketatanegaraan di Indonesia menjadi penting. Memang, dalam paradigma politik Islam meski tidak ditentukan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik. Tetapi, Islam mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia. Mabadi’ al-siyasy termaktub dalam nilai-nilai substansial Islam. Ajaran-ajaran Islam ini mencakup prinsip-prinsip tentang persamaan di hadapan hukum (al-musawah), keadilan (‘adalah), persaudaraan (ukhuwah), dan kebebasan (hurriyah).

Tujuan Islam terpenting, misalnya, tampak dalam kerangka perwujudan keadilan sosial yang terformulasi dengan tindakan “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan” (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar). Namun, siapa saja yang menghendaki suatu tujuan, konsekwensinya harus mau melaksanakan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini Ibn Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M) menegaskan:

Allah mewajibkan manusia untuk melakukan perintah berlaku ma’ruf dan nahi munkar, keadilan, melaksanakan haji, melaksanakan shalat-shalat jemaah, dan memerangi orang-orang yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan imarah (kepemimpinan).

 

Keberadaan negara amat penting dalam rangka mengurus dan mengayomi umat. Tanpa negara umat tidak akan mungkin mewujudkan cita-cita sosial-politik dan keadilan sosial, melaksanakan hukum Islam, menciptakan sistem pendidikan Islam dan mempertahankan kebudayaan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik dari dalam maupun serangan–serangan dari luar. Negara yang tidak konstitusional dapat menyebabkan masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa yang kejam. Akhirnya Islam dianggap hanya ibadah (ritual) belaka dan ilusi semata. Selain itu, janji Islam sebagai petunjuk bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat belum dapat dibuktikan secara optimal.

Memang, secara global di dunia Islam dewasa ini, ada tiga aliran yang berkembang mengenai hubungan antara Islam dan negara. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama, dalam pengertian hanya menyangkut hubungan dengan Tuhan belaka. Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap, mencakup pengaturan bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tegasnya, sistem kenegaraan harus sepenuhnya mengacu pada Islam. Tokoh-tokoh utama aliran ini, antara lain, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Ridha, dan Abul A’la al-Maududi. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama semata-mata, yang tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Nabi hanya seorang Rasul semata, bukan sebagai kepala negara. Tokoh aliran ini yang terkemuka di antaranya Ali Abd Al-Raziq dan Thaha Husein. Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika dan prinsip-prinsip bagi kehidupan bernegara. Di antara para tokoh aliran ini ialah Muhammad Husein Haikal.

Menurut para politikus Muslim, dalam negara seyogianya prinsip-prinsip dasar syari’ah diimplementasikan. Nilai-nilai syari’at Islam direalisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis dalam konteks pluralisme sosial. Karena secara politis, syari’ah adalah sumber nilai yang memberi corak dari dinamika perkembangan politik dan negara yang ideal yang dicita-citakan. Ini berarti suatu keharusan membumikan syari’ah Islam menghendaki betapa urgennya pemerintahan dalam Islam, yang ditegakkan dengan prinsip-prinsip syari’ah, yang mencakup nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan masyarakat.

Negara dalam pandangan Islam merupakan otoritas syari’ah terhadap seluruh manusia, baik terhadap kalangan penguasa maupun terhadap massa rakyat, yang prinsip-prinsipnya dirumuskan oleh Allah yang disampaikan oleh Nabi kepada manusia yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah serta dijabarkan dalam penafsiran-penafsiran ulama, yang secara sosiologis ditegakkan oleh kekuatan-kekuatan yang dipercayai. Lebih khas, bagi setiap Muslim, negara itu adalah alat (agency) untuk merealisasikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, untuk mencapai keridhaan Allah kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Tujuan negara itu adalah mewujudkan kesejahteraan, akan lebih tepat dikatakan, kesejahteraan masyarakat universal di dunia dan akhirat. Sedangkan ikatan antara penguasa dan rakyat adalah berdasarkan atas dorongan batin, yakni keyakinan kepada Allah dan kehidupan akhirat nanti.

Tugas-tugas suatu negara dalam konsepsi Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas-tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh negara yang konstitusinya berdasar syari’ah. Tugas ini dirancang agar syari’ah terpelihara dan tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan-peraturannya ditaati. Misalnya, mengurus pelaksanaan salat jemaah, pendistribusian zakat, melaksanakan hudud, menegakkan keadilan (al-qadha’), mengawasi pasar (hisbah), menangani penyelewengan-penyelewengan di dalam timbangan, ukuran; kesusilaan dan kesopanan masyarakat, serta melaksanakan jihad untuk memberantas kemunkaran dan kezaliman yang meresahkan masyarakat.

Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh negara pada umumnya. Secara historis, ke dalam tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat kepala negara, menteri, panglima, hakim, dan lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas-tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu demi kepentingan masyarakat.

Kepala negara, dalam konsepsi Islam, dipilih berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi jabatan kepala negara tersebut, selain memiliki syarat moral dan intelektual, adalah kejujuran (amanah); kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam mengelola negara dengan pengawasan-pengawasan dari kelompok pemerintahannya (quwwah); dan keadilan (‘adalah)—sebagai manifestasi kesalehan.

Oleh karena itu, format suatu negara yang mengimplementasikan nilai-nilai syari’ah dalam kehidupan sosial merupakan suatu bentuk tata politik dan kultural dengan prinsip-prinsip yang permanen dan sistem yang dinamis. Umat manusia dapat terhindar dari fluktuasi yang tak berkesudahan: dewasa, layu, hancur, dan lahir kembali. Umat dapat menghindari perubahan-perubahan sejarah ini dengan menggunakan dan mentaati sistem sosio-kultural Islam, termasuk subsistem politisnya.

Al-Ghazali, seorang tokoh hukum dan spiritualis Islam, misalnya dalam teorisasi kenegaraan mengutamakan perpaduan moral (agama) dengan kekuasaan. Negara itu, dipimpin oleh manusia biasa, tetapi harus mempunyai moral yang baik. Unsur agama mesti diperoleh dan dipertahankan dalam negara.

Eksistensi agama dalam negara dan kaitannya dengan otoritas kepala negara diibaratkan al-Ghazali sebagai anak kembar.Agama adalah suatu fondasi, sedangkan kepala negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang. Atas dasar itu, menurut al-Ghazali, asal-usul dan keberadaan negara merupakan suatu keharusan bagi ketertiban dunia. Ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, sedangkan ketertiban agama amat penting untuk mencapai kesejahteraan akhirat kelak. Secara syar’i, pengangkatan kepala negara yang mampu mengelola pemerintahan secara efektif merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.

Dengan demikian, negara sangat penting artinya dalam mewujudkan ketertiban dunia dan perdamaian. Keberadaan negara sangat urgen dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara efektif dan merupakan suatu perangkat untuk mensosialisasikan syari’at Islam.

_______Pdg, 01-10032013_______

REKONSTRUKSI TEORI KEMASLAHATAN

REKONSTRUKSI TEORI KEMASLAHATAN

 DALAM WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Telaah Kritis Pemikiran Najm Din Thufi

 

Oleh :  DR. EFRINALDI, M.Ag.

 

baghdad

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.  PENDAHULUAN

 

            Dewasa ini masyarakat tengah mengalami perubahan sosial yang sangat cepat. Suatu perubahan masyarakat yang ber-mega trend, ber-mega mesin, atau yang disebut oleh para ahli sebagai perubahan  kinetik (kinetic image).  Hubungan interaksi sosial sudah semakin kompleks. Hubungan itu cenderung berbentuk pola gabungan info, otak, dan mesin.  Hubungan yang kian kompleks itu  merupakan refleksi dari dinamika perubahan sosial (social change), sains dan teknologi.

            Selaras dengan hal itu,  permasalahan kehidupan manusia   semakin cepat berkembang dan makin kompleks.  Permasalahan itu makin dihadapi umat Islam dan menuntut adanya jawaban penyelesaian (way out) dari segi hukum. Semua persoalan tersebut  tidak akan dapat dihadapi  kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan  cara  atau metode konvensional yang digunakan para fuqaha’ terdahulu.

            Padahal tujuan syara’ secara substansial  ialah terciptanya kemaslahatan umum (public interest) dalam kehidupan manusia.  Kemaslahatan umum  itu bersifat dinamis dan fleksibel yang seiring dengan lajunya perkembangan zaman. Nilai-nilai dan tujuan syara’ dengan pertimbangan kemaslahatan umum menjadi solusi alternatif terhadap kompleksitas permasalahan kehidupan manusia.

            Kemaslahatan umum  dalam perspektif hukum Islam  adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan  hukum Islam telah disepakati oleh para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam menentukan  kriteria  kemaslahatan umum tersebut.  Di antara gagasan yang mengemuka dan cukup kontroversial  dalam teori kemaslahatan dalam visi pembaruan hukum Islam ini  dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi.

            Najm al-Din al-Thufi adalah seorang ilmuwan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh  yang berkebangsaan Irak.  Dengan segenap ilmu yang dikuasainya, ia berupaya mengembangkan pemikiran secara liberal dan mengajak para ulama di zamannya  untuk komitmen pada al-Qur’an dan Sunnah  secara radikal dalam mencari kebenaran. Dalam melakukan eksplorasi keilmuan,  al-Thufi tidak  terikat dengan suatu aliran pemikiran atau mazhab manapun. Metode kebebasan berpikir yang dicanangkan al-Thufi  menyebabkan ia berbeda dengan para ulama semasanya. Pemikirannya yang mengundang polemik adalah teori kemaslahatan sebagai fokus kajian dalam tulisan ini.

           

B. HUKUM ISLAM DAN TEORI KEMASLAHATAN

            Kajian terhadap hukum Islam,   term ini sebenarnya secara tegas,  tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’an.  Dalam berbagai literatur,  term yang biasanya muncul adalah syari’at Islam, fiqh atau hukum syar’i.

            Para ahli ushul fiqh  secara mayoritas mengemukakan definisi hukum syar’i itu sebagai “Tuntutan (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf),  berupa kehendak (tuntutan),  pilihan, atau hubungan antara sesuatu dengan yang lain (al-wadh’i); baik sebagai sebab, syarat, penghalang (mani’), sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.[1]

            Secara leksikal,  term syari’ah  berarti “jalan ke sumber mata air” dan “tempat orang-orang pada minum”. Kalimat ini digunakan secara khas dalam bahasa Arab  dengan pengertian “jalan setapak menuju sumber mata air  yang tetap  dan diberi tanda  yang jelas sehingga tampak oleh mata”.  Mengacu pada pengertian secara lughawy tersebut,  syari’ah berarti  suatu jalan yang harus dilalui.[2]   

            Dalam pengertian terminologis, syari’ah dimaksudkan  sebagai ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia, dalam mencapai  kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syara’ itu terbatas dalam firman Allah dan sabda Rasul.[3]

            Term fiqh berarti al-fahm (paham yang mendalam). Dalam konteks ini, fiqh berarti  interpretasi  para fuqaha’ terhadap syari’at.  Secara khas, fiqh  dimaksudkan “mengkaji hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah (practical) yang digali dari  dalil-dalil yang terperinci.”[4]

             Hukum Islam,   dalam pandangan para ahli di barat seperti  Noel  J. Coulson,[5]   JND Anderson[6],   Joseph  Schacht[7],  mencuat dengan term  Islamic law. Berbagai  studi  tentang dinamisasi dan implementasi hukum Islam  dalam dimensi sejarah (Islamic law history), terlihat bahwa term yang dimaksud lebih mangacu kepada fiqh yang telah dikembangkan oleh  para fuqaha dalam situasi dan kondisi tertentu.  Tetapi penjelasan terhadap Islamic law  sendiri, defenisi  yang sering mencuat adalah “keseluruhan khitab Allah  yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.[8]  Atas dasar itu,  term Islamic law  memuat arti antara syari’ah dan fiqh.      

            Istilah hukum dalam hukum Islam itu sendiri secara umum dapat berdiri sendiri. Secara sederhana, hukum diartikan sebagai “seperangkat  peraturan tentang tindak-tanduk, atau tingkah laku,  yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya”.  Jika term hukum itu dihubungkan dengan  Islam atau syara’, maka hukum Islam akan berarti “seperangkat  peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.[9]  Dengan demikian, term hukum Islam mencakup pengertian hukum syara’  dan hukum fiqh, karena arti syara’ dan fiqh  itu tercakup di dalamnya.

            Hukum Islam bersifat  elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif dengan dinamika perubahan sosial dan  kemajuan   zaman.  Sifat multidimensional dalam  ruang lingkup hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

            Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal,  menuntut ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan,  maka hal ini berarti  menuntut ilmu itu  merupakan penyebab  diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.[10]

            Al-Ghazali  memformulasikan  teori kemaslahatan dalam kerangka “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’.”[11]  Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali,  harus  seiring dengan tujuan syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia.  Atas dasar ini, yang menjadi tolok ukur dari maslahat itu  adalah tujuan dan kehendak syara’,  bukan  didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.

            Tujuan syara’  dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia.  Muatan maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu  ialah sesuatu yang baik  secara rasional juga harus sesuai dengan  tujuan syara’.

Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli  mengklasifikasikan  teori al-mashlahah kepada tiga jenis.[12]  Pertama, mashlahah dharuriyah, yaitu  kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berkaitan dengan  lima kebutuhan pokok, yang disebut dengan al-mashalih al-khamsah, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, dan  (5) memelihara harta.

            Segala sesutu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas adalah  bertentangan dengan tujuan syara’.  Karena itu, tindakan tersebut dilarang tegas dalam agama.  Allah melarang murtad demi untuk memelihara agama;  membunuh dilarang untuk memelihara jiwa,  minum-minuman keras dilarang untuk memelihara akal sehat, berzina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan mencuri atau merampok dilarang untuk memelihara kepemilikan terhadap harta.

            Kedua, mashlahah hajiyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan  pokok tersebut yang berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar (basic need) manusia. Misalnya,  rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyari’atkan untuk  mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.

            Ketiga, mashlahah tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus bagi kemaslahatan sebelumnya.  Kebutuhan dalam konteks ini perlu dipenuhi  dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Umpamanya,  dianjurkan  memakan yang bergizi,  berpakaian yang rapi, melaksanakan ibadah-ibadah sunat, dan lain sebagainya.

            Ditinjau dari dimensi cakupan kemaslahatan,  para ahli mengklasifikasikan teori ini kepada dua hal. Pertama, mashlahah ‘ammah,  yaitu kemaslahatan umum  yang berhubungan dengan kepentingan  masyarakat banyak atau mayoritas umat. Misalnya, ulama  membolehkan membunuh penyebar bid’ah dan dhalalah  karena dapat merusak aqidah  mayoritas umat.

Kedua, mashlahah khasshah,  yaitu kemaslahatan khusus yang berhubungan dengan kemalahatan individual.   Misalnya,  kemaslahatan yang berkenaan dengan pemutusan hubungan status perkawinan terhadap seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).

Urgensi dari pengklasifikasian kedua jenis kemaslahatan ini berkaitan dengan skala prioritas manakala antara teori kemaslahatan umum dengan kemaslahatan individual terjadi perbenturan.  Dalam konteks ini,  mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi menjadi suatu keniscayaan.

Dalam aspek keberadaan mashlahah dalam perspektif syara’ dan adanya keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara’, teori ini diklasifikasikan kepada tiga hal.[13] Pertama, mashlahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang  berada dalam kalkulasi syara’.  Dalam hal ini ada dalil yang secara khusus menjadi  dasar dari bentuk kemaslahatan itu, baik secara langsung ada indikator dalam syara’ (munasib mu’atstsir)  ataupun secara tidak langsung ada indikatornya (munasib mulaim).

 Misalnya,  salah satu bentuk hukuman bagi pencuri adalah keharusan  mengembalikan barang  curian kepada pemiliknya, apabila masih utuh atau  mengganti dengan sesuatu yang sama nilainya. Hukuman ini dianalogikan kepada ketentuan hukuman ghashab (orang yang mengambil harta orang lain tanpa izin) sebagai suatu keharusan mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya.

Kedua,  mashlahah mulghah, yaitu bentuk kemaslahatan yang ditolak, karena  bertentangan dengan ketentuan syara’. Meskipun  sesuatu itu secara rasio dianggap baik, tetapi syara’ menetapkan hukum yang berbeda karena muatan maslahat itu.  Misalnya, dewasa ini dengan alasan  gender dan emansipasi wanita, secara rasional  dapat diterima kedudukan yang sama antara hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Tetapi berdasarkan ketentuan syara’,  hak waris  anak laki-laki tetap dua kali lipat  hak anak perempuan.[14]

Ketiga,  mashlahah mursalah, atau dalam beberapa literartur  disebut juga dengan al-istishlah, mashlahah muthlaqah, atau munasib mursal.  Yaitu kemaslahatan yang eksistensinya  tidak didukung syara’  dan esensinya tidak pula  ditolak  melalui dalil yang terperinci, tetapi cakupan makna nash terkandung dalam substansinya.  Dalam hal ini, sesuatu itu dalam anggapan baik secara rasio dengan pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan  bagi manusia. Sesuatu yang baik  menurut rasio  akan selaras dengan tujuan syara’ dalam penetapan hukum, yang secara khusus tidak ada indikator dari syara’  untuk menolak ataupun mengakui keberadaannya.

Mashahah mursalah   dalam kedudukan sebagai metode ijtihad secara jelas digunakan oleh Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki. Selain itu, mashlahah mursalah juga digunakan  kalangan ulama non-Maliki sebagaimana dinukilkan oleh al-Syathibi.

Dalam perspektif pemikiran Najm al-Din al-Thufi, klasifikasi teori mashlahah seperti di atas adalah sesuatu yang tidak urgen.  Rumusan teori yang dikemukakan oleh Jumhur ulama tersebut tidak dapat diterima oleh al-Thufi.  Kekhasan corak pemikirannya, terlihat  bahwa asumsi mashlahah ditempatkan  sebagai dalil yang bersifat mandiri  dan dominan dalam penetapan hukum, baik secara substansial  kemaslahatan itu sendiri didukung oleh syara’ ataupun tidak.[15]

 

C.  KONDISI   SOSIOHISTORIS    DAN      DINAMIKA   

      PERKEMBANGAN INTELEKTUAL    NAJM   DIN   THUFI

       Najm al-Din al-Thufi  (675 H/ 1276 M –  716 H/ 1316 M)[16]   dilahirkan di desa Thufi, Sharshar, Irak[17].   Nama lengkapnya adalah  Najm al-Din Abu al-Rabi’  Sulaiman Ibn Abd  al-Qawi Ibn Abd al-Karim Ibn Sa’id al-Thufi al-Sharshari al-Baghdadi al-Hanbali.  Ia adalah seorang ilmuwan yang terkenal dalam bidang fiqh dan ushul fiqh yang pada dasarnya menganut mazhab Hanbali.  Dalam pengembangan potensi intelektualitas  al-Thufi  mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan, selain fiqh dan ushul fiqh ialah tafsir, hadits, ilmu kalam, ilmu mantiq, bahasa Arab  dan sejarah.  Kitab  fiqh rujukan mazhab Hanbali,  al-Muharrar  fi al-Fiqh  al-Hanbali  dikuasaiya dalam usia yang relatif muda. Demikian juga dengan kitab  Mukhtashar al-Khiraqi karya Umar Ibn al-Husain Ibn Abdullah Ibn Ahmad al-Khiraqi dalam bidang fiqh juga sangat digandrunginya. Studi fiqh makin didalami al-Thufi pada Syekh Zain al-Din  Ali Ibn Muhammad al-Sharshari atau yang lebih dikenal di kalangan mazhab Hanbali sebagai Ibn al-Bauqi.[18] Kebanyakan guru-guru al-Thufi adalah ulama-ulama Hanbali yang besar pada zamannya.

            Dalam melakukan eksplorasi keilmuan, al-Thufi juga menggali literatur-literatur Syi’ah yang ketika itu dinilai sangat tabu dan kontroversial dalam masyarakat yang mayoritas Sunni.  Meskipun al-Thufi berada dalam komunitas mazhab Hanbali dan menekuni studi tentang Syi’ah, namun  tradisi kebebasan berpikir  dalam  pengembaraan intelektualnya  tetap terus melaju.

            Dengan sekelumit ilmu yang dipelajarinya, al-Thufi  berupaya  mengajak  para ulama ketika itu untuk tetap komitmen  pada al-Qur’an dan Sunnah  dalam mencari kebenaran secara radikal.  Seruan  al-Thufi ini mencuat dalam karyanya,   al-Akbar fi Qawaid  al-Tafsir,  kitab tentang kaidah-kaidah tafsir.  Dalam mengembangkan dan memelihara tradisi kebebasan berpikir, al-Thufi tidak terikat dengan  suatu pendapat, aliran pemikiran  atau mazhab manapun.

            Sosok al-Thufi memang pribadi yang berbeda pada zamannya.  Secara situasional ketika itu, malahan terjadi  kristalisasi mazhab-mazhab.  Stagnasi pemikiran mulai melanda masyarakat dan dunia Islam.  Hak dan kebebasan berijtihad  dibatasi  dan bahkan pintu ijtihad mulai dinyatakan  tertutup.  Kejumudan pemikiran tengah  merajalela. Mulai pertengahan abad ke-9 M,  muncul pendapat bahwa  hanya ulama masa lampau yang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Pendapat ini makin mendapat tempat dengan didukung oleh sejumlah  opini bahwa seluruh permasalahan  secara esensial telah dibahas  tuntas. Terlihat adanya semacam konsensus secara gradual bahwa tidak seorang pun memiliki otoritas untuk melaksanakan ijtihad secara mutlak dan bahwa  aktifitas di masa mendatang  harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi, dan penafsiran dari  doktrin yang telah diformulasikan.  Penutupan pintu ijitihad itu  menggiring pada munculnya kondisi  taqlid buta,  suatu term  yang secara umum diartikan  sebagai penerimaaan secara pasrah terhadap doktrin-doktrin dan otoritas-otoritas mazhab yang telah mapan.[19]

            Puncak dari iklim ini adalah runtuhnya Bagdad sebagai mercu suar dan pusat perkembangan aktifitas intelektual Islam.  Pencaplokan  yang dilakukan Hulagu Khan terjadi pada 1258 M.  Invasi yang dilakukan Kaisar Tartar ini mengakibatkan  jatuhnya kekuatan politik Islam yang kian parah. Integritas politik dunia Islam betul-betul menjadi berantakan.[20] Didasarkan atas  kekhawatiran yang lebih besar  terhadap munculnya perpecahan dan perselisihan  dalam masyarakat Islam,  para fuqaha’ Sunni  menyerukan pada keseragaman kehidupan sosial  umat Islam dengan mencegah adanya pembaruan  substantif dalam hukum Islam.[21]

            Perkembangan hukum Islam makin tidak dinamis dan terisolasi dari  berbagai persoalan kehidupan baru. Berbagai masalah makin bermunculan, sementara solusi terhadap masalah-masalah yang cukup pelik itu tidak mencuat.  Persoalan-persoalan hukum  dicukupkan pada  hasil-hasil ijtihad masa lalu.  Hukum Islam secara praksis tidak dapat merespon kasus-kasus baru dalam kehidupan manusia.

Masa itu  merupakan fase kemunduran hukum Islam yang cukup menyejarah.  Kondisi ini berlangsung cukup lama, yaitu  dari pertengahan  abad IV H sampai akhir abad XIII H.  Memang pada fase ini para ulama tidak cukup berani berinisiatif untuk mecapai tingkatan mujtahid mutlak, menggali hukum-hukum Islam dari sumbernya secara langsung,  atau mencari  ketentuan hukum baru terhadap suatu persoalan. Kondisi ini makin merajalela dan memicu bagi munculnya iklim taqlid.

Dalam kondisi stagnan ini,  Najm al-Din al-Thufi  muncul dengan gagasan-gagasannya yang berbeda dengan para pemikir  di zamannya.  Pemikiran al-Thufi tertuang dalam segenap karyanya, antara lain dalam bidang ushul fiqh, seperti kitab Mukhtashar al-Raudah al-Qudamiyah, Mukhtashar al-Hashil, al-Zari’ah  ila Ma’rifah Asrar al-Syari’ah.  Dalam bidang ilmu fiqh, ia menulis kitab al-Qawaid  al-Kubra, al-Qawaid al-Shughra, , Al-Riyad al-Nawazir fi al-Asybah wa al-Nadzair, Syarh Nishf Mukhtashar al-Khiraqi dan lain sebagainya.  Di antara gagasan al-Thufi  yang berbeda dengan mayoritas ilmuwan ketika itu dan cukup mengundang polemik ialah tentang  al-mashlahah.

           

D.   TEORI    KEMASLAHATAN    DALAM    KONSTRUKSI   

       PEMIKIRAN  NAJM   DIN  THUFI

           

Teori  kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi bercorak sangat khas.  Pemikirannya jauh berbeda dengan  arus umum mayoritas ulama yang hidup sezaman dengannya.   Formulasi teori  al-mashlahah  dalam pemikiran al-Thufi  bertitik tolak dari hadis  “La dharara wa la dhirar fi al-Islam” [22]   (Tidak boleh memudaratkan  dan tidak boleh pula dimudaratkan  orang lain dalam Islam).

            Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi,  intisari  dari keseluruhan ajaran Islam  yang termuat dalam  nash ialah kemaslahatan bagi manusia secara universal.  Atas dasar itu, versi al-Thufi,  seluruh  ragam dan bentuk kemaslahatan disyari’atkan  dan keberadaan maslahat itu tidak perlu mendapatkan konfirmasi dari nash.  Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan  dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum.

            Secara terminologis, al-Thufi  merumuskan al-mashlahah sebagai “suatu ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat kebiasaan”. Dengan demikian,  al-mashlahah  dalam arti syara’ dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.

            Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah  membawa nuansa lain terhadap pendapat  mayoritas ulama semasanya.  Dalam persepsi  umum para ulama,  kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’,  baik melalui nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash.  Pemikiran al-Thufi yang tidak sejalan dengan para ulama semasanya menyebabkan ia terisolasi, tetapi substansi pemikirannya  kemudian mendapat perhatian  para ahli sesudahnya.

            Dalam teori Najm al-Din al-Thufi, al-mashlahah  tidak diklasifikasikan kepada berbagai ragam bentuk,  sebagaimana yang  diformulasikan  oleh kalangan Jumhur ulama.  Menurut al-Thufi,  al-mashlahah  merupakan  hujjah yang mandiri dan paling dominan sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini,   kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi  dari nash,  apakah  ada nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah  nash,  ataupun nash menolak keberadaannya sama sekali.

            Teori kemaslahatan dalam rumusan al-Thufi  memuat  empat prinsip.  Dalam hal ini  pemikirannya terlihat sangat berbeda dengan mayoritas ulama.  Keempat prinsip itu adalah :[23]

  1. Akal dapat secara bebas menentukan kemaslahatan  dan kemudaratan, khususnya dalam bidang  mu’amalah dan adat.  Untuk menilai dan menentukan sesuatu itu maslahat atau mudarat cukup dengan  akal  (rasio). Kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk tanpa harus melalui wahyu menjadi fondasi pertama dalam piramida pemikiran al-Thufi.  Di sinilah letak perbedaan yang cukup serius  antara al-Thufi dengan Jumhur ulama.  Menurut Jumhur,  meskipun kemaslahatan  itu dapat dicapai dengan akal, namun  harus mendapatkan konfirmasi dari nash  atau ijma’.
  2. Al-mashlahah  merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi paling kuat  dalam penetapan hukum.  Atas dasar ini,  kehujjahan al-mashlahah  tidak diperlukan  adanya dalil pendukung.  Kemaslahatan cukup didasarkan  kepada kekuatan penilaian rasio tanpa perlu melalui wahyu.
  3. Al-mashlahah  hanya berlaku dalam masalah mu’amalah  dan adat kebiasaan.   Sedangkan dalam masalah ibadah , seperti shalat  maghrib tiga rakaat,  puasa selama  sebulan penuh pada bulan Ramadhan,  dan tawaf  dilakukan  sebanyak tujuh kali,  tidak termasuk  kategori objek mashlahah. Masalah-masalah ini merupakan  hak dan otoritas Tuhan secara penuh.
  4. Al-mashlahah  merupakan dalil syara’ yang paling dominan.  Dalam konteks ini, versi al-Thufi,  jika nash atau ijma’ bertentangan  dengan al-mashlahah,  maka  kemaslahatan diprioritaskan  dengan metode takhshish nash  (pengkhususan hukum) dan  bayan (perincian).

 

E. TEORI   KEMASLAHATAN   NAJM  DIN  THUFI  DALAM 

     KERANGKA  PEMBARUAN   HUKUM   ISLAM

 

            Gagasan pembaruan pemikiran  dalam hukum Islam tetap selalu mendapat perhatian berbagai kalangan.  Banyak  ahli yang concern  dengan tema-tema ini. Gagasan ini kian urgen karena selaras dengan dinamika perubahan sosial dan mobilitas kemajuan zaman.

            Teori kemaslahatan  umum (public interest) sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam tetap menjadi sorotan yang secara gradual  terus melaju.  Para penulis kontemporer dalam bidang hukum Islam atau secara khusus bidang ushul fiqh turut  menjadikan teori tentang kemaslahatan  sebagai kerangka referensinya.  Berbagai kasus dan masalah-masalah baru yang muncul ditinjau dari perspektif hukum Islam  dengan menjadikan acuan utamanya adalah dasar  kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal.

            Teori kemaslahatan dalam pemikiran  Najm al-Din al-Thufi   mengemuka secara substantif dalam kerangka kajian legislasi Islam.  Kemaslahatan umum sebagai shariah based  merupakan tujuan penetapan hukum Islam. Nash atau dalil-dalil syara’ lain  merupakan metode untuk merealisasikan  tujuan pencapaian kemaslahatan itu. Paradigma ini  mengacu pada realitas perubahan sosial, jika pengamalan makna nash sesuai dengan zhahirnya  secara probabilitas akan membawa kesenjangan  dan kurang menampung rasa keadilan dan muatan kemaslahatan,  maka dalam hal ini makna nash itu dipalingkan  kepada makna lain yang lebih mengacu kepada rasa keadilan dan  mengandung kemaslahatan umum.

            Pemikiran al-Thufi juga menyiratkan  adanya suatu upaya untuk  memperoleh suatu hukum fiqh  melalui perluasan makna suatu teks syari’ah yang bersifat eksplisit  dengan mengungkap pengertian-pengertian implisitnya.[24] Ini dilakukan dengan menggali  causalegis  (illat) suatu nash untuk diterapkan  pada kasus-kasus serupa yang secara ekplisit tidak termasuk ke dalamnya.   Atau juga dengan menggali  semangat, tujuan dan prinsip umum,  yang terkandung dalam suatu nash untuk diterapkan secara lebih luas dalam masalah lain yang diharapkan dapat mewujudkan  kemaslahatan umum.  Corak pemikiran  al-Thufi dalam teori maslahat ini, dalam kerangka pembaruan pemikiran hukum Islam,  terlihat dengan pendekatan transformatif.

            Pendekatan transformatif  mengemuka sebagai suatu pendekatan  alternatif dari pendekatan realis-positivistik yang melihat perubahan  (change)   sebagai suatu sarana  untuk menggapai  cita kemaslahatan kualitatif  dalam visi  Ilahiyyah.  Esensi kemaslahatan dalam syara’  bukan hanya berfungsi sekadar sistem legitimasi tetapi melainkan sebagai pemenuhan  terhadap sesuatu yang mendasar  mengenai makna dari apa yang tengah terjadi.[25]

            Dalam wacana pembaruan pemikiran dalam hukum Islam, teori kemaslahatan dalam pandangan al-Thufi  mencakup lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan. Karena, memang bidang-bidang ini yang rentan terhadap berbagai dinamika perubahan. Sedangkan dalam lapangan ibadah adalah  semata hak prerogatif Tuhan. Hakekat yang terkandung dalam ibadah , baik kualitas maupun kuantitas, waktu dan tempat, tidak mungkin diketahui  kecuali hanya ditentukan dalam syara’.  Kemashlahatan umum dalam hal ini tetap menjadi tujuan syara’.

 

F.  KESIMPULAN

 

Kekhasan corak pemikiran Najm al-Din al-Thufi terlihat  bahwa  mashlahah  ditempatkan  sebagai dalil yang bersifat mandiri  dan paling dominan dalam legislasi Islam,  baik secara substansial  kemaslahatan itu sendiri mendapat konfirmasi dari syara’ ataupun sebaliknya. Corak pemikiran  al-Thufi dalam teori maslahat ini,  terlihat dalam nuansa pembaruan pemikiran dalam hukum Islam.

Diskursus teori kemaslahatan  umum (public interest) sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam tersebut selalu menjadi perhatian banyak kalangan yang secara gradual  terus melaju.  Berbagai kasus dan masalah-masalah baru yang muncul ditinjau dari perspektif hukum Islam  menjadikan acuan utamanya adalah dasar  kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia secara universal

Teori  kemaslahatan dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi memang berbeda dengan  arus umum mayoritas ulama.   Menurut al-Thufi,  al-mashlahah  merupakan  hujjah yang mandiri dan menempati posisi  paling kuat sebagai landasan penetapan hukum. Dalam konteks ini,   kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan justifikasi  dari nash,  apakah  ada nash yang mendukungnya atau ada cakupan makna dari sejumlah  nash,  ataupun tidak ada pengakuan dari nash mengenai keberadaannya. Teori kemaslahatan dalam pemikiran  Najm al-Din al-Thufi  ini mengemuka secara esensial dalam kerangka kajian legislasi Islam.

 

 

 

 

 

 

 

TEORI KEMASLAHATAN

 DALAM WACANA PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Telaah Kritis Pemikiran Najm Din Thufi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh :

 

 DR.EFRINALDI, M.Ag.

 (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IAN IMAM BONJOL

PADANG

2008

 


[1] Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6  dan Ibn al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H) h. 33. 

[2] Abu Fadhl  Jamaluddin, Lisan al-Arab, 1975-1976, jilid III.

[3] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h.17

[4] Ditransliterasi dari :  Al-Allamah al-Bannany, Hasyiyah al-Bannany ‘ala Syarh al-Mahally ‘ala Matn Jam’ al-Jawami’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid I, h. 25

[5] Noel J. Coulson, History of Islamic Law,  (Edinburg Press, 1967)

[6] JND  Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: 1959).

[7] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic law, (Oxford: Oxford university Press, 1967).

[8] Diadaptasi dari  S.Waqar Ahmed Husaini, Islamic Environmetal Systems Engineering, (London: The Macmillan Press Ltd., 1980), h. 24, 31.

[9] Amir Syariduddin, Loc.Cit.

[10] Husain Hamid Hasan,  Nadzariyah  al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 3-4.

[11] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), Jilid I, h. 286.

[12] Abu Ishaq al-Syathibi,  Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973),jilid II, h. 8-12,   Ibn al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha’, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1328 H), Jilid II, h. 240   dan   Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., h. 139.

 

[13] Abu Ishaq al-Syathibi,  Loc. Cit.

[14] Lihat: QS. Al-Nisa’ (4): 11 dan 176.

[15] Al-Thufi berbeda dengan persepsi Jumhur ulama yang menyatakan bahwa bila  terdapat pertentangan antara nash dengan mashlahah , maka nash harus didahulukan. Dalam pemikiran al-Thufi,  meskipun nash  maupun ijma’ menyalahi  pertimbangan maslahat,  maka yang harus diprioritaskan adalah pertimbangan kemaslahatan.

[16] Telaah  :   Mustafa zaid,          Al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami  wa Najm al-Din  al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68  dan  Abd  al-Wahhab al-Khallaf,  Mashadir  al-Tasyri’ fima La Nashsha Fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 105.

[17] Ibn al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbar  Man Zahab, (Beirut: al-Maktab al-Tijari, t.t.), jilid V, h. 39

[18] Mustafa Zaid, op.cit. h. 70,

[19] Joseph Schacht, Op.Cit., h. 70-72.

[20] Qamaruddin Khan,  Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 37-38.

[21] Muhammad Iqbal,   The Reconstructon of Religious Thought in Islam. (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 149-151

[22] HR. al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal.

[23] Mushthafa Zaid, Loc.Cit.   dan    Husain Hamid Hasan,     Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy,  (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), h. 529-568

[24] Substansi dari gagasan al-Thufi ini misalnya dalam  teori al-mashlahah dalam kerangka legislasi Islam. Lihat: Musthafa Zaid, loc.cit., dan   Husain Hamid Hasan, loc.cit.

[25] Masdar F. Mas’udi, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988),  h. 180.